Terminologi Membaca dalam al-Qur’an: Iqra’, Tilāwah, Qirā’ah, Tadabbur, dan Tartīl
Jejen Jaenal M
Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam tidak hanya menghadirkan pesan-pesan teologis, hukum, dan akhlak, tetapi juga memperkenalkan berbagai istilah yang terkait dengan aktivitas membaca. Kata-kata seperti iqra’, tilāwah, qirā’ah, tadabbur, dan tartīl masing-masing memiliki makna yang khas. Pemahaman yang tepat terhadap istilah-istilah ini sangat penting agar umat Islam tidak hanya berhenti pada ritual membaca teks, tetapi juga dapat menghayati kandungan makna yang lebih dalam.
---
1. Iqra’ dalam Surah al-‘Alaq
Perintah pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah kata iqra’ dalam QS. al-‘Alaq (96):1. Menurut al-Ṭabarī, perintah ini berarti membaca dengan lisan apa yang Allah wahyukan.^1 Karena ayat ini tidak menyebutkan objek bacaan (maf‘ūl bih), sebagian mufasir seperti Fakhr al-Dīn al-Rāzī menafsirkan bahwa maknanya bersifat umum: membaca teks tertulis, membaca alam, bahkan membaca sejarah dan diri sendiri.^2 Dengan demikian, iqra’ adalah perintah membaca yang paling luas cakupannya, tidak terbatas pada teks semata.
2. Qirā’ah dan Tilāwah
Kata qirā’ah secara bahasa berarti aktivitas membaca atau melafalkan teks. Ia bisa dilakukan sekadar melisankan huruf tanpa harus memahami makna. Dalam literatur disebut sebagai qirā’ah bil-lisān faqath (bacaan lisan semata).
Sebaliknya, tilāwah berasal dari akar kata tala (mengikuti). Menurut al-Qurṭubī, tilāwah bukan hanya membaca teks, tetapi juga mengikuti kandungan makna dan mengamalkannya.^3 Karena itu, tilāwah sering dipakai dalam al-Qur’an untuk menunjukkan bacaan yang berdampak pada iman dan amal (lihat QS. al-Baqarah [2]:121).
Dengan demikian, qirā’ah lebih bersifat netral—membaca dengan suara—sedangkan tilāwah menuntut keterlibatan hati dan amal.
3. Tadabbur
Istilah tadabbur berasal dari kata dabbara yang berarti memikirkan sesuatu sampai ke ujungnya. Dalam QS. Muḥammad (47):24, Allah mengecam mereka yang tidak melakukan tadabbur terhadap al-Qur’an.
Ibn Kathīr menjelaskan bahwa tadabbur berarti merenungkan makna-makna al-Qur’an dan memahami maksudnya.^4 Jadi, tadabbur bukan sekadar membaca teks, tetapi upaya kontemplatif untuk menangkap pesan-pesan Allah.
4. Tartīl
Kata tartīl muncul dalam QS. al-Muzzammil (73):4, “وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا”.
Menurut al-Ṭabarī, tartil berarti membaca dengan jelas huruf-hurufnya, pelan, tidak tergesa-gesa.^5
Al-Qurṭubī menambahkan bahwa tartil adalah tahsīn al-ḥurūf wa ma‘rifah al-wuqūf (memperindah huruf dan mengetahui tempat berhenti).^6
Riwayat dari Ali bin Abi Ṭālib ra. menyebut: “At-tartīl huwa tahsīn al-ḥurūf wa ma‘rifat al-wuqūf” (tartil adalah memperindah huruf dan memahami waqaf).^7
Sayyid Quṭb memperluas makna tartil sebagai cara membaca yang memungkinkan jiwa meresapi ayat-ayat Allah, sehingga ada ruang untuk tadabbur.^8
Dari sini, tartil dapat dipahami bukan hanya teknis bacaan sesuai tajwid, tetapi juga metode agar hati punya kesempatan merenungkan makna.
Kesimpulan
Iqra’ → perintah membaca yang umum, meliputi teks, alam, dan realitas.
Qirā’ah → membaca secara lisan, bisa tanpa makna.
Tilāwah → membaca dengan keterlibatan hati dan amal.
Tadabbur → merenungkan kandungan makna hingga mendalam.
Tartīl → membaca dengan pelan, jelas, sesuai tajwid, yang membuka peluang untuk tadabbur.
Dengan demikian, terminologi membaca dalam al-Qur’an memiliki spektrum makna: dari aktivitas mekanis (qirā’ah) hingga kontemplatif dan aplikatif (tilāwah, tadabbur). Hal ini menunjukkan bahwa membaca al-Qur’an yang ideal adalah perpaduan antara ketepatan teknis, perenungan makna, dan pengamalan.
Catatan Kaki
1. al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Juz 24, h. 519.
2. Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, Juz 32, h. 89.
3. al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 1, h. 41.
4. Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 7, h. 278.
5. al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, Juz 23, h. 613.
6. al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 19, h. 32.
7. Diriwayatkan oleh al-Qurṭubī dalam al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 19, h. 32.
8. Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, Jilid 6, h. 3935.