Strategi Nabi Muhammad SAW dalam Menegakkan Islam: Antara Perang dan Diplomasi
Latar
Belakang
Perjuangan menegakkan Islam dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memilih jalur konfrontasi,
yakni perjuangan fisik melalui peperangan, dan ada pula yang menempuh jalan kooperatif,
yaitu dengan diplomasi dan pendekatan damai. Dalam sejarah modern, kita dapat
melihat kedua pola ini dijalankan oleh umat Islam.
Sebagian kelompok seperti Al-Qaeda
dan Taliban pada masa awal dikenal menempuh cara perjuangan bersenjata
untuk melawan dominasi Barat dan menegakkan hukum Islam. Namun di sisi lain,
ada tokoh-tokoh seperti Recep Tayyip Erdoğan di Turki dan para penguasa
Qatar yang memilih jalur diplomasi, membangun kekuatan melalui ekonomi,
pendidikan, dan hubungan internasional. Menariknya, pola kedua ini lebih sering
membuahkan hasil yang stabil dan diterima di dunia global.
Dari realitas tersebut muncul
pertanyaan mendasar: bagaimana sebenarnya Nabi Muhammad SAW menegakkan Islam
di masa hidupnya? Apakah beliau mengandalkan kekuatan perang, atau justru
diplomasi? Dan bagaimana relevansinya dengan dunia modern yang penuh tantangan
dan kemajuan teknologi informasi saat ini?
1.
Perang dan Diplomasi pada Masa Rasulullah SAW
Nabi Muhammad SAW dikenal bukan
hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai negarawan dan diplomat
ulung. Dalam perjuangannya menegakkan Islam, beliau tidak semata-mata
mengandalkan kekuatan militer, melainkan menyeimbangkan antara perang dan
diplomasi.
Perang dalam Islam pada masa Nabi tidak
pernah menjadi tujuan utama, melainkan upaya terakhir (last resort)
ketika dakwah terancam, umat tertindas, atau perjanjian dilanggar. Beberapa
perang besar seperti Perang Badar, Uhud, dan Khandaq terjadi karena
adanya ancaman nyata dari kaum Quraisy yang berusaha menghancurkan komunitas
Muslim di Madinah.
Di sisi lain, diplomasi Nabi
menjadi bagian penting dalam membangun kekuatan Islam. Rasulullah SAW melakukan
berbagai perjanjian, seperti Perjanjian Hudaibiyah, yang secara lahiriah
tampak merugikan kaum Muslimin, tetapi ternyata menjadi pintu kemenangan besar
bagi dakwah Islam. Selain itu, beliau juga mengirim surat diplomatik
kepada para raja dan pemimpin dunia—seperti Kaisar Romawi, Raja Persia, dan
Raja Habasyah—untuk mengajak mereka mengenal Islam dengan cara damai.
2.
Kapan Nabi Berperang dan Berdiplomasi, serta Alasan di Baliknya
Nabi Muhammad SAW berperang hanya
ketika kondisi memaksa, yakni ketika umat Islam dizalimi, diserang, atau
dihalangi haknya untuk beribadah. Dalam kondisi damai, beliau selalu
mengedepankan musyawarah, perdamaian, dan kesepakatan bersama.
- Berperang, Nabi lakukan ketika:
- Kaum
Muslim diserang secara langsung (contohnya Perang Badar).
- Umat
Islam dikhianati oleh pihak yang sebelumnya mengadakan perjanjian damai
(contohnya Perang Bani Quraizhah).
- Tindakan
penindasan terhadap kaum lemah sudah melampaui batas.
- Berdiplomasi, Nabi lakukan ketika:
- Ada
peluang damai dan kerja sama untuk kemaslahatan umat.
- Dakwah
bisa disebarkan melalui jalur politik dan sosial.
- Situasi
memungkinkan pendekatan lunak yang justru mempercepat penyebaran Islam,
seperti pada Perjanjian Hudaibiyah atau saat beliau memasuki
Makkah dalam peristiwa Fathu Makkah dengan tanpa pertumpahan
darah.
Alasan utama Nabi berdiplomasi
adalah karena Islam mengutamakan perdamaian, dan tujuan dakwah tidak
mungkin tercapai dengan kekerasan semata. Peperangan hanyalah sarana
mempertahankan kebenaran, bukan cara untuk memaksakan keyakinan.
3.
Relevansi Strategi Nabi di Era Modern dan Perkembangan Teknologi Informasi
Pada era modern, strategi perang dan
diplomasi Rasulullah SAW tetap relevan untuk diterapkan, meskipun bentuknya
kini telah berubah. Dunia saat ini lebih menekankan perang pemikiran dan
informasi (ghazwul fikr wa ma’lumat) daripada perang fisik.
Dengan kemajuan teknologi informasi,
media sosial, dan jaringan global, perjuangan menegakkan Islam dapat
dilakukan melalui dakwah digital, penyebaran ilmu, serta kerja sama lintas
bangsa. Prinsip diplomasi Nabi dapat diterapkan dengan:
- Membangun citra positif Islam melalui konten edukatif, bukan provokasi.
- Menjalin hubungan lintas budaya dan agama tanpa kehilangan identitas keislaman.
- Menggunakan teknologi untuk memperkuat ekonomi umat, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Sedangkan semangat “berperang” dalam
konteks modern dapat diartikan sebagai perjuangan melawan kebodohan,
kemiskinan, dan hoaks. Inilah bentuk jihad masa kini yang sejalan dengan
semangat Rasulullah SAW: memperjuangkan kebenaran dengan cara yang bijak dan
beradab.
Penutup
Nabi Muhammad SAW menegakkan Islam
dengan keseimbangan antara kekuatan dan kebijaksanaan, antara perang
yang adil dan diplomasi yang damai. Ketika kondisi memaksa, beliau
berperang dengan penuh etika; namun ketika peluang damai terbuka, beliau
memilih diplomasi sebagai jalan kemenangan.
Di era modern yang serba digital,
umat Islam dapat meneladani strategi beliau dengan mengubah medan perjuangan:
dari peperangan fisik menjadi perjuangan intelektual, sosial, dan moral. Dengan
cara itulah, Islam dapat kembali tegak sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Referensi
Al-Ghazali, M. (2000). Fiqh
Sirah: Pemahaman mendalam terhadap perjalanan hidup Rasulullah SAW.
Jakarta: Gema Insani.
Al-Mubarakfuri, S. S. (2017). Sirah
Nabawiyah: Ar-Rahiq Al-Makhtum (Sejarah hidup Rasulullah). Jakarta: Ummul
Qura.
Azra, A. (2000). Islam
substantif: Agar umat tidak jadi buih. Jakarta: Mizan.
Hamidullah, M. (1995). Rasulullah
sebagai seorang negarawan dan diplomat. Jakarta: Bulan Bintang.
Hitti, P. K. (2005). Sejarah kaum
Arab (History of the Arabs) (C. L. Yasin, Penerj.). Jakarta: Serambi.
Karim, M. R. (1991). Negara dan
agama dalam Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Munawwir, A. W. (1997). Kamus
Al-Munawwir: Arab–Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.
Nasution, H. (1995). Islam
rasional: Gagasan dan pemikiran. Bandung: Mizan.
Shihab, M. Q. (1996). Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir maudhu’i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.

